Hidup kami yang serba ada, bahkan
terkesan sangat berlebih, tiba-tiba berbalik seratus enam puluh derajat.
Yang tadinya kami bisa makan apapun yang kami mau, kini untuk makan
satu hari sekali pun kami belum tentu bisa.
Ini semua karna ada pekerja Bapak yang
membawa lari semua aset perusahaan, akibatnya semua harta kami harus
diambil untuk membayar gaji karyawan. Hanya tinggal sisa-sianya saja
yang mampu membuat kami bertahan, walapun dengan keadaan yang jauh dari
sebelumnya.
“ Bunda, apa kita akan terus seperti ini? Gimana dengan kuliahku? “ kataku mulai merajuk.
“ Sabar yaa sayang, Bapakmu sedang
merintis usahanya kembali dari awal. Insyaallah, nanti kalau usaha Bapak
sudah maju, kamu bisa kuliah lagi,” Bunda menenangkanku.
“ Tapi kapan Bunda, belum tentu tahun depan atau tahun depannya lagi kan,”
“ Kamu mau kan Allah tetap mendampingimu dalam setiap keadaan?” aku mengangguk.
“ Allah selalu bersama orang-orang yang
sabar, jadi bagaimana mungkin kamu mau selalu bersama Allah kalau
kamunya ndak mau sabar,Nak, “ kata Bunda lagi.
Bunda, kau selalu begitu sabar dan
tabah, padahal aku tahu hatimu menjerit ketika aku dan adik-adik
bertanya-tanya tentang keadaan kita. Dalam setiap sujudmu, aku sering
mendengar kau mendoakan kami dalam derai air mata ketulusan. Bahkan
dengan keadaan seperti ini, kau tulus mendampingi Ayah tanpa mengeluh.
Aku segera memeluk Bunda, memohon maaf
atas khilaf dan keegoisanku. Tetesa air mataku segera dihapus dengan
punggung tangannya. Dia tersenyum begitu manis padaku.
Ternyata tak perlu waktu yang sangat
lama, perlahan tapi pasti kehidupan kami semakin meningkat. Ayah
berhasil merintis usahanya kembali meskipun tak seperti dulu, ini berkat
kegigihan, do’a, dan yang terpenting kami yakin Allah selalu
bersama-sama kami.
Namun tiba-tiba saja, aku dikejutkan
dengan sebuah SMS dari adikku, bahwa Bunda dibawa ke Rumah Sakit. Bunda
terjatuh di kamar mandi, kondisinya tak sadarkan diri. Dengan derai air
mata, aku segera menuju Rumah Sakit.
“Ayah, gimana keadaan Bunda?” ku lihat ada perban kecil didahinya.
“ Ndak apa-apa,Nak. Bunda tadi kepleset
di kamar mandi, terus kebentur kepala Bunda di dinding Bak Mandi.
Untungnya, ada adikmu yang melihat. Sekarang Bunda lagi istirahat jangan
diganggu dulu “
Lega rasanya Bunda tidak mengalami luka
serius. Aku melihat Ayah dalam keletihannya setelah pulang bekerja,
masih sempat memperhatikan Bunda dengan teliti.
Aku lihat kemesraan yang sama dari dulu
sampai sekarang, tak ada yang berubah dari mereka. Ayah begitu tulus
menyuapi Bunda, bahkan menuntun Bunda ke kamar mandi. Aku jadi berharap,
suatu saat aku ingin punya suami setulus Ayah, tapi apakah masih ada ?
“ Nia, ngelamun saja. Tolong bantuin Bunda duduk ,” kata Bunda membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum .
“ Bunda, Ayah kok mesra terus yaa sama
Bunda? Nia bisa nggak yaa dapetin suami yang tulus, mau berbagi dalam
keadaan apapun” tanya ku dengan wajah yang bersemu merah.
“ Ndak mudah untuk mencari suami yang
tulus Nia, tapi lebih mudah kalau kamu yang membuat suamimu nanti
menjadi orang yang tulus dan mau berbagi,” Bunda tersenyum menyiratkan
sebuah arti. Aku mengerutkan dahi, tanda bingung dengan perkataan Bunda.
“ Mulai dengan dirimu sendiri Nia,
buatlah dirimu tulus menerima suamimu nanti. Insyaallah dia akan
berbalik tulus terhadapmu. Lihatlah Ayahmu,Nak. Bunda mencoba untuk
selalu tulus padanya, mau berbagi disetiap keadaan, selalu bersamanya
dan mendampinginya, Bunda enggan meninggalkannya dalam keadaan apapun.
Kini kamu bisa lihat Ayahmu, dia pun enggan meninggalkan Bunda meskipun
Bunda dalam keadaan seperti ini “
Aku terpana, terkejut dengan jawaban
Bunda. Tak pernah aku berpikir sedikitpun tentang memulai dari diri
sendri, yang aku pikir hanya keinginanku untuk mencari pasangan yang
‘sudah jadi’ dengan apa yang ku harapan.
Wallahua’lam bish Shawab.
Share
0 komentar:
Posting Komentar